Metro24, Jakarta – Konsep “_Brand Recall_” pada sebuah partai politik ini dijalankan sabagai langkah strategi pemasaran proaktif maupun evaluasi merek menuju “top-of-mind awareness” di masyarakat kita dan biasanya dilakukan setelah proses “_Brand Awareness_” sudah berjalan. “_Brand Recall_” dibangun saat memiliki waktu panjang dalam kompetisi dan persaingan yang ketat dengan partai politik lainnya. “_Brand Recall_” biasanya disesuaikan untuk _audience_ yang tuju, dimanaa pada saat pemilu 2029 mendatang nanti, diprediksi akan menjadi pemilu paling digital sepanjang sejarah Indonesia.
Salah satu alasannya, lebih dari 65% pemilih aktif diperkirakan berasal dari Generasi Z dan Generai Milenial.
Konsep “_Brand Recall_” dalam sebuah partai politik bisa dijalankan jika diperlukan untuk memperbaiki citra dimana orang pernah terpapar brand tersebut sebelumny, dan juga diperlukan untuk menguatkan recall positif membentuk asosiasi yang kuat. Namun, tetap tantangan akan terlebih jika terjadi perubahan logo brand pada sebuah partai politik dimana itu adalah hal yang serius dan strategis,(21/7/2025).
Mengganti logo berarti mengubah “wajah” yang selama ini dikenal publik – dan itu bisa memutus atau mengganggu koneksi emosional dan memori visual yang sudah terbangun dan bahkan memicu penolakan internal, istilahnya partai kehilangan “_brand recognition_”, kemudian butuh waktu dan biaya besar untuk membangun “_recall_” baru.
Tips menengatasi itu biasanya adalah dengan transisi bertahap dimana tetap menampilkan logo lama dan baru secara berdampingan, perubahan logo tidak menghilangkan elemen kunci yang sudah melekat (warna, simbol inti) sehingga _recall_ tetap terjaga, kemudian lakukan narasi transformasi bahwa perubahan adalah bagian dari _rebranding_ visi besar, bukan sekedar kosmetik, libatkan pendukung untuk minta masukan dari akar rumpu dan _elite_ agar terasa milik besama, selanjutnya masifkan komunikasi makna dan nilai logo baru(21/7/2025).
“_Brand Recall_” bukan sekadar dikenal. Ia adalah tentang dikenang, diingat, dan dipercaya. Dalam dunia politik, ini bukan soal banyaknya baliho, spanduk, atau iklan. Ini tentang apakah rakyat, saat menyebut ‘keadilan’, ‘amanah’, dan ‘perlawanan terhadap kezaliman’, langsung teringat satu nama: PARTAI UMMAT.”(HZ.PUTRA).
Kini, menjelang Pemilu 2029, pertanyaan besar mengemuka:
Siapkah Partai Ummat tampil beda?
Siapkah Partai Ummat menjadi _top of mind_ rakyat Indonesia?
Jawabannya tergantung pada bagaimana Partai Ummat membangun memori kolektif, dari lorong-lorong kampung hingga ruang digital.
Partai politik bukan sekadar struktur, ia adalah citra yang hidup di kepala rakyat: warna, simbol, suara, narasi, dan teladan.
Untuk menjadi top of mind, Partai Ummat perlu:
1. Konsistensi identitas visual dan simbolik: warna, logo, jargon perjuangan.
2. Konsistensi pesan naratif: tentang keadilan, keberpihakan pada rakyat, dan penolakan terhadap oligarki.
3. Konsistensi aksi nyata: di lapangan, bukan hanya di media sosial.
Rakyat akan mengingat apa yang menyentuh hati mereka.
Ketika Partai Ummat bicara kebenaran dan keadilan, apakah itu terasa jujur? Ketika Partai Ummat menolak kezaliman, apakah sikap itu terlihat nyata? _Brand Recall_ lahir dari keberanian bersikap, bukan keramaian gimmick.
Tampil beda bukan sekadar mengganti logo atau warna, tapi tampil sebagai harapan baru yang otentik.
Beda dalam integritas, Beda dalam keberanian, dan Beda dalam kesetiaan kepada umat dan bangsa.
Siapkah Partai Ummat jadi _Top of Mind_? jika Iya, maka Rakyat menyebut “siapa yang paling lantang membela rakyat?” → mereka menjawab: Partai Ummat. Saat rakyat berkata “siapa yang tidak kompromi dengan kebatilan?” → mereka serempak berkata: Partai Ummat.
_Brand Recall_ bukan dibentuk oleh iklan semata, tapi oleh jejak perjuangan dan keistiqamahan.
Jika Partai Ummat mampu menjaga nilai dan tampil dengan wajah yang menyala di hati rakyat, maka ia bukan hanya akan diingat. Ia akan dipilih.
Pemilu 2029 bukan tentang sekadar ikut serta. Ini tentang menjadi pusat kesadaran rakyat akan perubahan.
(Red/Ranto)