News  

Ombudsman RI Dorong Pemerintah Utamakan Ketersediaan Pangan dan Segera Lepas Stok Beras Bulog

Metro24,Jakarta –Ombudsman RI menekankan bahwa ketersediaan pangan, khususnya beras, harus menjadi prioritas utama pemerintah, pelaku usaha dan seluruh pemangku kepentingan di tengah polemik perberasan yang terjadi belakangan ini. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers pada Jumat (8/8/2025) di Kantor Ombudsman RI, mengingatkan bahwa rasa aman dan nyaman bagi seluruh pelaku usaha perlu segera diwujudkan, demi menjaga stabilitas harga dan pasokan beras, melindungi konsumen, serta memastikan kesejahteraan petani.

Ombudsman RI mendorong pemerintah segera melepaskan cadangan beras yang dimiliki oleh Perum Bulog untuk mengisi pasar dan memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi. “Beras di gudang Bulog harus segera keluar mengingat masyarakat membutuhkan ketersediaan beras, sementara pelaku usaha pun perlu diyakinkan dengan mekanime yang menjamin rasa aman agar mau menyerap beras Bulog,” ujar Yeka.

 

Ia menambahkan, sebagian beras di gudang sudah berumur lebih dari satu tahun, beras yang paling lama Februari 2024, sehingga berpotensi menurun kualitasnya.

Sebagai langkah cepat, Ombudsman RI menyarankan Badan Pangan Nasional mempertimbangkan penyesuaian penerbitan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras, agar harmonis dengan SNI 6128/2020 agar tidak berpotensi menghambat distribusi. Penyesuaian ini penting agar pasokan beras di pasar tetap terjaga. Kedepan, perlu ada kebijakan standar mutu beras yang memberikan insentif peningkatan kualitas produksi beras.

Baca Juga :  Personel Polsek Sario Amankan Sholat Idul Adha di Mantos 3

Hasil pemantauan Ombudsman RI menunjukkan sejumlah persoalan di rantai tata niaga beras. Di tingkat petani, produktivitas padi saat ini di wilayah amatan mencapai rata-rata 5,5 ton per hektare, meningkat dibanding dua hingga tiga musim sebelumnya yang kerap mengalami gagal panen. Namun, sangat disayangkan varietas padi yang digunakan oleh Petani masih banyak yang ditemukan tidak tersertifikasi. Selain itu, harga gabah saat ini sudah mencapai di kisaran Rp7.500–Rp8.400 per kilogram, hal ini tentu akan mendorong kenaikan harga beras juga, sehingga HET beras akan sulit patuhi.

Di tingkat penggilingan padi, persaingan untuk mendapatkan gabah semakin ketat, bahkan memicu banyak penggilingan padi kecil tidak beroperasi dan bahkan sudah ada yang tutup. Gudang penggilingan padi banyak yang kosong tidak memiliki stok gabah maupun beras, akibat kekhawatiran para pelaku usaha terhadap kebijakan tata niaga perberasan saat ini. Sementara itu, harga beras di pasar naik berkisar Rp2.000–Rp3.000 kenaikannya per kilogram, dan mayoritas beras dijual dalam bentuk curah tanpa label mutu.

Baca Juga :  MENJAGA KONDUSIFITAS KAMTIBMAS DIBULAN SUCI RAMADHAN 1445 HIJRIAH 2024

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Ombudsman RI menekankan perlunya langkah mitigasi Pemerintah untuk menciptakan iklim perdagangan beras yang kondusif agar stok beras pada Bulog dapat tersalurkan, mengevaluasi penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras sesuai kondisi riil, serta membina dan menata industri penggilingan padi agar lebih modern, efisien, harmonis, dan menyejahterakan petani. Dalam kondisi persaingan gabah yang sangat tinggi, penerapan HET beras premium dinilai tidak efektif, sehingga disarankan untuk dihapus dengan fokus pengendalian harga pada beras medium.

Ombudsman RI juga mendorong evaluasi penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) agar dilakukan pada periode yang tepat, yakni Agustus hingga Januari, serta meninjau ulang rantai distribusi dari Bulog–Ritel–Konsumen menjadi Bulog–Penggilingan Padi–Ritel–Konsumen. Pemerintah diimbau melarang penjualan beras curah dan mendorong peredaran beras kemasan kecil dengan label mutu yang jelas, sekaligus memperkuat industri benih bersertifikat untuk menjamin kualitas produksi.

Menanggapi polemik istilah beras oplosan, Ombudsman RI menilai penyebutan tersebut kurang tepat. Yeka menjelaskan bahwa yang terjadi adalah praktik pencampuran (mixing) antar varietas, antar bentuk beras (utuh, butir patah, menir), antar beras lama dengan baru, serta antar beras impor dengan lokal. Praktik tersebut umum terjadi dan aman dikonsumsi, selama tidak menyesatkan konsumen. “Hal yang dilarang adalah membohongi konsumen,” tegasnya. Selain itu Ia menambahkan bahwa, hal yang dilarang jelas adalah mencampur beras SPHP dengan beras komersil di pasaran.

Baca Juga :  Dukung Ketahanan Nasional, Bhabinkamtibmas Polsek Gedangan Sambangi Peternak Mentog di Desa Ketajen

Dalam hal penegakan hukum, Ombudsman RI mendukung langkah aparat terhadap pelanggaran labelisasi, isi, dan kemasan beras. Namun, penerapan hukum diminta mengedepankan prinsip ultimum remedium, serta dilakukan secara proporsional dengan mengedepankan pembinaan dan edukasi sebelum penindakan, terutama jika perbedaan mutu yang ditemukan tidak signifikan atau disebabkan karena proses penanganan dan transportasi (handling).

(Reporter H.Ranto)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *