Metro24,BOJONEGORO- Meski Pemkab Bojonegoro menggelontorkan anggaran besar untuk website desa sebagai sarana transparansi publik, nyatanya sebagian besar situs hanya berisi menu kosong tanpa konten berarti.
Website desa yang dikenal dengan platform SIAPDESA sejatinya dirancang untuk menghadirkan informasi yang mudah diakses publik. Mulai dari profil desa, visi misi, potensi wilayah, laporan pembangunan, hingga realisasi penggunaan anggaran. Sayangnya, fungsi itu tak berjalan sebagaimana mestinya.
Hasil penelusuran di sejumlah desa menunjukkan kondisi memprihatinkan. Banyak website yang hanya menampilkan tampilan awal tanpa isi, menu yang tak berfungsi, bahkan beberapa alamat situs tidak bisa diakses sama sekali. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar: untuk apa anggaran disalurkan jika manfaatnya tidak dirasakan masyarakat?
Setiap tahun, Pemkab Bojonegoro mengalokasikan anggaran untuk, pemeliharaan, serta operasional pengelola website desa. Dengan jumlah desa mencapai 419, jika rata-rata masing-masing desa menerima belasan hingga puluhan juta rupiah, maka total anggaran bisa mencapai miliaran rupiah per tahun. Ironisnya, transparansi yang dijanjikan justru tidak hadir.
“Website desa seharusnya bisa jadi sarana kontrol publik. Tapi kalau hanya jadi pajangan tanpa isi, jelas itu pemborosan,” tegas seorang pegiat kebijakan publik di Bojonegoro.
Meski demikian, ada beberapa desa yang berhasil mengelola website mereka secara baik. Desa-desa ini rutin memperbarui konten, menyajikan laporan pembangunan, hingga mempublikasikan kegiatan masyarakat.
Fakta ini membuktikan bahwa masalah bukan pada teknis, melainkan pada komitmen pemerintah desa dalam mengelola media informasi.
Minimnya monitoring dari Pemkab Bojonegoro semakin memperparah kondisi. Tanpa evaluasi, tanpa insentif, dan tanpa sanksi tegas, program website desa berisiko menjadi proyek mati suri yang hanya menghabiskan anggaran tanpa menghadirkan manfaat konkret bagi publik.
Kini, masyarakat Bojonegoro menunggu langkah nyata pemerintah. Transparansi informasi tak boleh hanya berhenti di slogan digital. Jika website desa terus dibiarkan kosong, maka hak rakyat untuk mengetahui jalannya pemerintahan desa hanya akan tinggal mimpi.
(Redho)