Metro24,Jakarta-BPOM berkolaborasi dengan World Health Organization (WHO) menyelenggarakan Capacity Building and Workshop on Quality Standardization of Extracts and Quality Control Assessment in Traditional Medicine Products, Selasa (19/8/2025). Kegiatan diselenggarakan secara hybrid dan diikuti oleh 1.096 peserta yang berasal dari kalangan regulator, peneliti, akademisi, asosiasi profesi, dan pelaku industri obat bahan alam (OBA).(22/8/2025)
Turut hadir pula WHO Expert dari The Western Pacific Region (WPRO) WHO Eunkyung Han, WHO Member State (China) Wei Feng, dan WHO Member State (India) Galib. Materi pelatihan hari pertama diisi oleh narasumber pakar, yaitu Yosi Bayu Murti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Elfahmi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Hendig Winarno dari Center for Isotopes and Radiation Application, National Nuclear Agency, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sementara narasumber pada hari kedua, yaitu Heni Rachmawati dan Lilis Nuraida dari ITB.
Kegiatan berlangsung selama 3 hari ke depan. Tidak hanya diisi dengan rangkaian workshop dan diskusi panel, peserta juga akan berkesempatan mengikuti aktivitas kunjungan lapangan ke fasilitas ekstraksi PT Phytochemindo Reksa dan PT Indofarma Tbk untuk mempelajari proses implementasi dari sistem pengembangan obat bahan alam di lapangan.
Kepala BPOM Taruna Ikrar dalam sambutannya membahas mengenai peluang besar Indonesia untuk menjadi salah satu negara berstandar internasional dalam pengawasan obat dan makanan melalui pencapaian status WHO-Listed Authority (WLA). Menurutnya, WLA merupakan standar tertinggi bagi lembaga pengawas, yang menuntut transparansi, kapabilitas regulatori, serta sistem registrasi yang kredibel.
“Jika kita bisa meraih WLA seperti negara-negara lain yang sudah diakui WHO, itu menandakan bahwa Indonesia mampu berdiri sejajar di tingkat global,” ujarnya.
Taruna juga menegaskan bahwa setiap rupiah dari anggaran negara yang digunakan oleh BPOM harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Aspek transparansi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik, sekaligus memperkuat peran BPOM sebagai regulator yang dekat dengan masyarakat.
“Rakyat berharap besar pada lembaga ini. Maka dari itu, kita harus memastikan masyarakat tahu ke mana melapor dan mendapat jaminan bahwa pengawasan dilakukan dengan standar tertinggi,” lanjutnya.
Taruna Ikrar berharap kegiatan ini dapat menjadi wadah untuk mempelajari pengembangan standar yang tepat dalam pengendalian kualitas produk OBA. Ia juga mendorong para peserta untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian obat berbasis bahan alam agar Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam pasar OBA global.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik (Deputi 2) BPOM menambahkan bahwa standardisasi bahan baku obat tradisional adalah kunci untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Indonesia memiliki biodiversitas yang sangat besar, namun tantangan terbesar masih terkait dengan aspek keamanan dan konsistensi mutu.
“Walaupun sudah ada sampel produk, masih ditemukan obat yang tidak memenuhi syarat keamanan. Ini tantangan bagi kita untuk meningkatkan pengawasan sekaligus pendampingan kepada industri,” jelasnya.
Kashuri menekankan bahwa setiap klaim khasiat obat tradisional harus dibuktikan dengan data ilmiah, sejalan dengan praktik di negara maju seperti China, yang mensyaratkan setiap obat dan makanan memiliki data ilmiah yang kuat.
Oleh karena itu, BPOM tengah membangun ekosistem regulasi yang mendorong riset, inovasi, serta harmonisasi standar mutu bahan baku, agar industri lokal dapat memenuhi persyaratan internasional.
Kegiatan yang diselenggarakan kali ini juga selaras dengan WHO Traditional Medicine Strategy 2025–2034 yang menargetkan integrasi pengobatan tradisional dalam sistem kesehatan nasional secara aman, efektif, dan berbasis bukti ilmiah. WHO menekankan pentingnya kolaborasi lintas negara untuk memperkuat standar mutu, sistem pengawasan, serta akses terhadap produk tradisional yang aman dan terjangkau.
Melalui workshop ini, para peserta memperoleh pemahaman komprehensif tentang standar mutu ekstrak, metode quality control assessment, hingga penerapan teknologi terkini seperti fermentasi, iradiasi, dan nanoteknologi dalam pengembangan obat tradisional. Diskusi juga menghadirkan praktik baik dari negara lain, termasuk China dan India, yang telah berhasil mengintegrasikan obat tradisional ke dalam sistem kesehatan modern.
Kepala BPOM berharap, melalui kolaborasi dengan WHO dan seluruh pemangku kepentingan, Indonesia dapat memperkuat posisi strategisnya dalam pengembangan obat bahan alam.
“Kami meyakini kemandirian farmasi adalah bagian dari ketahanan nasional. BPOM akan berjuang menumbuhkan industri obat tradisional yang berdaya saing global, dengan tetap menjunjung tinggi standar keamanan, khasiat, dan mutu,” pungkas Prof. Taruna.
Diselenggarakannya forum ini bertujuan untuk membangun sinergi antara regulator, akademisi, industri, dan masyarakat dalam memperkuat daya saing Indonesia di kancah global. Standarisasi mutu bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga strategi nasional untuk memastikan kekayaan alam Indonesia dapat memberi manfaat optimal bagi kesehatan dan kemandirian bangsa.
(Reporter H.Ranto)